URAI
Matahari meratapkan malam yang tenggelamkan terik.
Duka mengoyak sentir terliuk angin, wahai: aku relakan malam milikmu, tapi siang segala dayaku menghidupimu.
Sudah genap, malam melelap
Matahari memuja kasih kepada embun yang mengantar terik.
Riang samar-samar mengisi ruang: aku tak pernah benar-benar memilikimu.
Terang telah menyebar titik-titik jumpa di sudut kota, tetapi adamu, adaku, terang sebentar hilang.
Sumpah! Ini bukan pelarian.
Ia tidak lagi merumput diperedaran.
Matahari, selimutmu kala merindu
Atau; lalai.
Yogyakarta, 24/12/”16
( Gimin MPA)